choice [Part 2]
Satu
minggu telah berlalu, dan Mitha sudah mempunyai beberapa teman yang
menyenangkan. Beberapa kegiatan pun mulai diikuti oleh Mitha, sekarang dia
tengah sibuk dengan kegiatannya yang menjadi anggota cheers. Tingginya yang
melebihi tinggi seorang cewek pada seumurannya membuatnya mudah masuk ke dalam
anggota pada saat pemilihan anggota cherleaders yang baru.
Mitha
berjalan dengan tergesa-gesa saat menuruni anak tangga untuk menuju dapur. Dafa
yang berada didapur langsung melihat kearah Mitha yang berjalan ke arahnya.
“Ka..
nanti siang ada temen gue yang mau kesini.”
“Mang lo
punya temen?” tanya Dafa yang masih asyik mencuci piring, yang langsung
mendapat pukulan keras dibahunya
“Aww..!
sakit tau,” kata dafa meringis sambil mengusap-usap bahunya. Mungkin saat ini,
bagian itu terdapat bekas memerahnya.
Ting
nong.. ting nong...
Tiba-tiba
suara bel memecahkan ‘pekerjaan’ mereka yang masih saling membalas. Mitha
berjalan menuju pintu. Dafa hanya mendengar suara dua orang gadis yang sesekali
menjerit senang, lalu mereka menghilang dikamar Mitha yang terletak diujung
lorong lantai dua rumah tersebut.
Dafa
berjalan menuju ruang tengah dan menyalakan Tv. Dia lebih memilih dibawah
karena dia tau, lantai dua dipenuhi oleh suara dua orang gadis yang tengah
asyik bercengkrama.
Bahkan
suara dua mahluk yang bernama cewek itu saja sampai kebawah. Bi Imah berjalan
dari arah dapur dengan membawa dua gelas jus jambu dan dua buah toples yang
berisi kue kering.
“Bi..
tolong suruh mereka berdua mengecilkan volumenya dong, ganggu tau!” ucap Dafa
ketika bi Imah berada ditengah-tengah tangga.
Drrrrtt...
drrrrrtttt..
“Halo?”
“Daf,
kita ada meeting untuk BEM nih. Meeting dirumah lo aja ya? Besok jam 9 pagi.”
ucap Zaef
“Ooh..
oke deh, besok jam 9 dirumah gue.”
“Terus...
sekarang anak-anak BEM disuruh kumpul dikampus.” Lanjut Zaef
Dafa
melirik sekilas ke jam dinding yang terletak diatas Tv yang masih menyala.
“Sekarang?
Oke deh, wait me.”
Dafa
langsung berlari menuju kamarnya untuk mengganti bajunya, lalu bergegas ke
bawah dan menyambar kunci mobil yang terletak di meja pantry dapur.
Sementara
itu, Mitha dan temannya yang bernama Rachel sedang asyik berdiskusi tentang
tugas kuliah yang diberikan oleh dosen siang tadi.
“Iya..
ya udah, lo fotocopy lagi aja.” kata Rachel memberi saran
“Tapi,
bukunya siapa? Kan lo tau sendiri, dikelas kita itu nggak da yang punya buku
itu. Dan yang punya itu cuman kakak kelas semester tiga.”
“Lah.. kan sepupu lo juga smester tiga, mang dia
nggak punya?”
Mitha
melirik sekilas ke arah Rachel. “Orang males kayak dia nggak bakal punya.”
“Oh
gitu, ya udah besok deh gue usahain gimana caranya biar lo bisa dapet buku
dosen itu. Sekarang mendingan kita belajar aja semampu kita.”
***
Pagi
itu, cuaca sungguh tidak bersahabat. Hujan deras telah mengguyur sejak pukul
tiga dini hari. Untungnya, hari ini Mitha libur jadi dia bisa bersantai-santai
dikamarnya. Setelah melaksanakan shalat, Mitha kembali ke pulau kapuknya.
Menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuhnya bahkan hingga menutupi
kepalanya.
Beberapa
kali dia melirik iphonenya, berharap ada temannya yang menyapa melalui setiap sosmed
( sosial media ) yang dia ikuti. Tapi hasilnya, nihil. Berkali-kali
dia mencari posisi yang nyaman untuk tidur, tapi tetap saja rasanya bosan
sekali. Dia ingin sekali keluar dari kamarnya dan turun ke bawah untuk menonton
Tv, sekedar untuk menghilangkan rasa bosannya. Tapi sayang, Dafa melarang dia
untuk ke bawah karena dia dan teman-teman BEM-nya sedang rapat.
Karena
tidak tahan dengan kebosanan yang menumpuk, akhirnya Mitha memutuskan untuk
turun ke bawah dan langsung menuju dapur. Untungnya Dafa dan teman-temannya
sedang rapat diruangan khusus yang disediakan dirumah itu, untuk acara rapat
dan lainnya.
Setibanya
Mitha dibawah, dia tidak langsung menuju dapur. Melainkan kakiknya melangkah
menuju ruang rapat tersebut, karena penasaran Mitha memuttuskan untuk menguping
sejenak apa yang sedang dibicarakan anak-anak BEM.
Tapi
sayang, ketika jarak anatara ia dengan pintu ruangan tersebut tinggal lima
langkah, tiba-tiba pintu terbuka oleh seseorang. Mitha yang kaget langsung
berputar dan hendak menuju ke dapur.
“Ehh..
maaf, boleh tanya? Tolietnya diamana ya?” tanya orang tersebut
“Masuk
aja ke lorong kecil di sebelah sana, tolietnya ada diujung lorong itu.”
“Makasih..
emm.. Mitha.” jawab nya dan langsung berlari menuju lorong yang berada
disebelah kiri ruangan tersebut
Mitha
bergegas menuju dapur. Dia langsung menarik kursi pantry dapur sambil sesekali
melirik nasi kari yang sudah disediakan oleh bi Imah. Karena rasa lapar yang
sudah tak tertahankan, Mitha langsung memasukkan sesendok penuh nasi kari
tersebut kedalam mulutnya.
Plakk..!
Tiba-tiba
ada sesorang yang memukul kepalanya dari belakang dengan sebuah buku tipis.
Mitha memutar kursinya dan menatap sebal ke arah Dafa yang kini tengah duduk
disampingnya sambil meminum jus jambu.
“Apa-apaan
sih lo ka..! orang lagi makan, malah dipukul.. sakit tau!” keluh Mitha sambil
mengusap-usap puncak kepalanya
“Salah
lo sendiri, bangun tidur bukannya mandi dulu malah langsung makan. Jorok
banget,”
Mitha
hanya mendengus sebal sambil menlanjutkan sarapannya yang tertunda. Tapi, tiba-tiba
Dafa iseng menarik piring yang berisi sarapannya Mitha.
Mitha
menarik kembali piringnya, tapi Dafa kembali menarik piring tersebut. Kejadian
tersebut berlangsung selama beberapa menit, hingga akhirnya Mitha menyerah dan
mendorong paksa piring sarapannya ke arah Dafa. Mitha pun pergi turun dari
kurssi pantry.
“Eh..
habisin dulu nih,”
“Ogah..!
nafsu makan gue udah ilang gara-gara ulah lo, rese’ banget jadi orang.” ucapnya
sebelum berjalan dengan menghentak-hentakkan kakinya menuju tangga dan berjalan
menuju ke arah kamarnya
Dafa
yang melihat tingkah Mitha, hanya terkekeh. Puas sekali dia mengerjai
keponakannya yang kekanak-kanakan tersebut.
“Daf,
thanks untuk tempatnya ya.” kata Zaef
“Yo’a, no
problem. Kalo butuh bilang aja, nanti kita rapat lagi.”
“Oke
deh..! kita balik dulu ya,”
Dafa pun
mengantar teman-temannya hingga ambang pintu.
“Gue
nitip ni, buat si Mitha.” kata Kiki sambil menyerahkan sebuah fotocopy-an
buku kuliah
“Oh,
iya..”
“Gue..
dkk, pamit ya Daf.”
Dafa
hanya tersenyum sambil melambaikan tangannya. Lalu dia menuju gerbang, dan
menutup kembali gerbang tersebut lalu memasukkan slot kunci digerbang itu.
Setelah
itu, dia langsung masuk kembali ke dalam rumah. Dan langsung menuju lantai ke
dua, tepatnya meunuju kamarnya Mitha.
Tok..
tok.. tok..
Hening,
tidak ada sautan dari dalam.
Dafa pun
kembali mengetuk pintu tersebut. Namun tetap tidak ada jawaban dari dalam
kamar.
Akhirnya
Dafa pun memaksa masuk, dan mendapati Mitha tengah berdiri dibalkon kamarnya.
Dafa berjalan mendekati mitha yang baru saja selesai mandi.
“Disini
sejuk ya ka, hemmm... nyaman banget.” katanya sambil merentangkan kedua
tangannya dan menghirup banyak udara pagi yang sejuk.
“Emang...
letak rumah ini tuh, idealis banget. Siapapun yang menatanya, bener-bener
pinter. Walaupun terletak diperumahan, tapi halamannya penuh sama pepohonan
yang rindang. Udah gitu, halaman belakangnya pun menyejukkan mata.”
“Hehehe..
gak kayak rumah aku, meskipun terletak dipinggiran kota. Tapi hawanya panas
terus.” ucapnya sambil menundukkan wajahnya. Seketika air mukanya berubah
murung.
Dafa
yang melihat itu langsung memberikan fotocopy-an yang dibawanya. Mitha
langsung melihat kearah Dafa dengan tatapan bingung.
“Itu
dari Kiki, katanya sih.. buku materi kuliah yang kamu butuh.”
Setelah
memberikan buku tersebut, dafa langsung pergi dari kamarnya Mitha.
***
Dafa
kembali ke kamarnya. Sesaat dia menyenderkan tubuhnya pada daun pintu yang baru
saja ditutpnya. Dia menghela nafas sejenak, sambil sesekali mengusap wajahnya.
Dia pun
berjalan menuju tempat tidurnya dan duduk ditepi tempat tidurnya. Dafa tau,
bahwa kehidupan Mitha tidak seperti anak lainnya. Dibalik wajahnya yang selalu
tersenyum dan ceria itu, dia memiliki banyak sekali luka yang tidak bisa
dilukiskan oleh apapun itu.
Sejenak
pikirannya kembali berputar pada kejadian tiga bulan yang lalu.
*Flashback
on*
Dafa baru
saja sampai dirumahnya Mitha. Belum sempat dirinya mengetuk pintu, tiba-tiba
terdengar suara kegaduhan dari dalam. Sayup-sayup dia mendengar suara Mitha
yang menangis sendu, lalu dia mendengar suara langkah kaki yang menuju pintu.
Mitha
keluar dari rumah tersebut dan tersentak kaget, karena melihat Dafa yang
mematung diambang pintu dengan posisi hendak mengetuk pintu rumahnya. Mitha
bergegas mengusap air matanya dengan punggung telapak tangannya.
“Ka
Dafa.. kapan dateng? Kenapa gak sms atau telfon dulu?” tanyanya sambil dipaksakan
tersenyum
“Kamu
nangis? Ada apa.. kenapa?” Dafa balik bertanya sambil menatap ke arah Mitha
yang masih mempunyai genangan air mata disudut matanya
“Ahhh...
gak kok ka, ni kemasukkan debu. Karena lagi bersihin rumah.” ucap Mitha sambil
menundukkan pandangannya berharap Dafa tidak mengetahui bahwa dia memang
menangis
Dafa kembali
menatap Mitha, karena penasaran dia pun masuk ke dalam rumah Mitha. Setelah
masuk, dia pun berkeliling-keliling melihat setiap ruangan dirumah tersebut.
Katanya
lagi pada dibersihin, tapi kenapa gak da bekasnya?, gumam Dafa. Dia pun menatap
ke pintu yang belum ditutupnya, Mitha masih berdiri sambil sesenggukan didepan
pintu.
Dafa pun
menuju pintu dan menarik Mitha masuk ke dalam rumah, setelah dia menutup
pintunya.
“Ehh...
ada Dafa, kenapa nggak bilang kalau mau kesini?” ucap seseorang yang baru
keluar dari dapur dan mendekatinya
Mitha
mundur, dan bersembunyi dibalik tubuh Dafa.
“Iya
tante, soalnya baru aja. Tadi dijemput sama Mitha.”
“Loh,
Mitha tau kamu mau kesini? Tapi kenapa dia nggak bilang sama tante ya?”
Mitha
hanya meringkuk dipunggung Dafa.
“Hehehe...
mungkin dia lupa tante,”
“Ohh...
ya sudah, masuk yuk.. tante tunjukkin dimana tempat kamu menginap.”
Dafa pun
melangkah mengikuti tante Mira (ibunya Mitha) ke lantai dua dirumah itu.
Ternyata kamar dia bersebrangan dengan kamarnya Mitha.
Sepanjang
hari, Mitha tidak pernah keluar dari kamarnya. Dafa yang khawatir pun
memberanikan diri untuk ke kamarnya Mitha.
Tok..
tok.. tok..
Hening,
tidak ada respon apapun dari siempunya kamar itu. Dafa pun kembali mengetuk
pintu tersebut, namun responnya sama. Sayup-sayup Dafa mendengar suara menangis
dari dalam kamar tersebut. Karena panik, Dafa pun langsung membuka pintu
kamarnya Mitha.
Dafa
terkejut begitu melihat Mitha yang duduk dilantai sambil memeluk lututnya dan
bersender ditempat tidurnya. Tubuh gadis itu bergetar, sambil sesekali
terdengar suara sesenggukan darinya.
“Ka Dafa
ngapain mau kesini? Aku lagi gak mau diganggu.” ucap Mitha sambil sesenggukan
“Tha, lo
ngapain sih nangis mulu dari tadi pagi. Emangnya lo gak bosen? Kasian tuh mata,
udah bengkak begitu.”
Mitha
menggeleng lemah. “Ka.. gue nggak betah, gue pengen pergi dari rumah ini ka.
Rumah ini kayak bukan rumah gue, gue merasa asing disini.” ucapnya parau sambil
menatap Dafa
“Terus
mau lo gimana?”
“Setelah
lulus, gue mau ikut lo aja. Kuliah di Bogor, cari duit sendiri. Percuma gue
disini, kalau merasa terasingkan dan merasa terbuang.”
Dafa
langsung memeluk Mitha, dan mengusap rambut Mitha dengan lembut dan penuh kasih
sayang. Dafa tau apa yang Mitha rasakan, dia tau luka apa yang sudah melukai
keponakannya itu. Keluarga, yang seharusnya menjaga dia, tidak pernah dia
rasakan. Berharap mendapatkan kasih sayang dari sosok yang bernama IBU, namun
ternyata itu hanyalah mimpi yang tak pernah terwujud.
Mitha
sudah tinggal dengan neneknya di Wonogiri, Solo. Kedua orang tuannya bercerai
sejak dia kecil dan pergi meninggalkan dia bersama neneknya. Kasih sayang ibu
dan ayah tidak pernah didapatkannya lagi ketika dia sudah menginjak umur lima
tahun.
Sejak
saat itu, Mitha diurus oleh neneknya. Sampai dia lulus SMA dan diambil oleh
ibunya untuk tinggal bersama di Bandung, tentu saja dengan ayah tirinya. Hingga
kini, entah apa yang sudah terjadi. Mitha hanya sering bercerita lewat blog
pribadinya yang sering Dafa baca. Blog yang berisi curahan hatinnya setiap
hari, dan Dafa selalu terisak saat membacanya. Ikut merasakan apa yang Mitha
rasakan. Pedih.
*Flash
back off*
***
TBC
0 komentar